Dalam khutbah bertema “Pendidikan dan Guru Pilar Peradaban”, Ustadz Jannatul Husna menegaskan bahwa perayaan kemerdekaan harusnya membuat kita bertanya, “Apakah kita sudah benar-benar merdeka?” Menurutnya, kemerdekaan yang hakiki adalah saat sebuah bangsa bebas dari kebodohan dan kemunduran moral.
Ia menekankan bahwa benteng terakhir untuk meraih kemerdekaan sejati adalah melalui jalur pendidikan. Mengutip sejarah Jepang pasca-Bom Hiroshima, ia menyebutkan bahwa prioritas utama Kaisar Hirohito bukanlah membangun kembali infrastruktur, melainkan mencari tahu jumlah dokter dan guru yang tersisa. “Ini menunjukkan betapa pendidikan dan tenaga pendidik adalah aset paling vital bagi sebuah bangsa,” ujar Ustadz Jannatul Husna.
Lebih lanjut, ia mengajak jamaah untuk berperan aktif dalam dunia pendidikan. Ia mengingatkan hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang umatnya menjadi golongan keempat, yaitu orang yang tidak menyukai ilmu. Ilmu yang dimaksud, menurutnya, adalah ilmu yang berdampak, yaitu ilmu yang mengantarkan manusia kepada Allah SWT sehingga mampu membedakan mana yang benar (haq) dan mana yang salah (batil).
Ustadz Jannatul Husna juga menyentil realitas sosial di Indonesia yang sering kali menganggap pendidikan sebagai beban. Ironisnya, di tengah kekayaan alam yang melimpah, banyak kaum terdidik di Indonesia masih hidup dalam kesengsaraan. Hal ini, menurutnya, harus menjadi perhatian serius.
Mengakhiri khutbahnya, Ustadz Jannatul Husna menegaskan bahwa guru dan dosen bukanlah beban, melainkan pahlawan sejati yang membangun bangsa dari dalam. “Sudah saatnya kita kembali memartabatkan pendidikan di negara ini, menghargai para pendidik, dan menjadikan ilmu sebagai jalan menuju kemerdekaan yang sebenar-benarnya,” pungkasnya.
