Sleman – Masjid Walidah Dahlan Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta kembali menjadi tempat berlangsungnya kegiatan Kuliah Dhuhur pada Kamis (9/10/2025) atau bertepatan dengan 17 Rabiul Akhir 1447 H. Kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap pekan ini menghadirkan narasumber Bapak Alfian Muhazir, M.A., dengan tema penuh makna: “Komunikasi Hati dalam Perspektif Muslim.”

Acara yang dimulai selepas salat Dhuhur ini diikuti oleh dosen, karyawan, dan mahasiswa UNISA Yogyakarta. Suasana masjid terasa khusyuk namun hangat, ketika Alfian Muhazir mengawali ceramahnya dengan mengajak jamaah untuk menyadari pentingnya menjaga lisan sebagai bagian dari kebersihan hati dan keimanan. Ia menegaskan bahwa komunikasi dalam Islam tidak boleh berhenti pada sekadar aktivitas sosial, tetapi harus dimaknai sebagai bentuk ibadah.

“Komunikasi seorang muslim sejatinya adalah cerminan dari hatinya. Bila hati bersih dan ikhlas, maka ucapan yang keluar pun akan membawa ketenangan dan kebaikan bagi orang lain,” ujar Alfian membuka paparannya. Ia menambahkan, hati yang bersih menjadi sumber utama dalam setiap bentuk komunikasi yang bermakna.

Dalam ceramahnya, Pak Alfian menyampaikan enam poin penting yang menjadi pegangan seorang muslim dalam berkomunikasi. Pertama, bahwa setiap ucapan harus bersumber dari hati yang bersih dan niat yang ikhlas. Kedua, seorang muslim harus meyakini bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. “Setiap ucapan kita tidak hilang begitu saja. Semua dicatat, dan suatu saat akan diminta pertanggungjawaban,” ungkapnya.

Poin ketiga, komunikasi bukan hanya aktivitas sosial, tetapi juga bagian dari ibadah yang berpahala jika dilakukan dengan niat yang benar. Dalam Islam, berbicara dengan niat yang baik dapat menjadi bentuk amal saleh. Keempat, berbicara harus dilandasi kesadaran iman — bukan sekadar untuk mengekspresikan diri, tetapi untuk menjaga nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. “Ucapan yang berangkat dari kesadaran iman akan lebih berhati-hati, lebih menenangkan, dan lebih mendekatkan seseorang pada Allah SWT,” jelasnya.

 

Selanjutnya, Pak Alfian menekankan bahwa berbicara bukan untuk menang atau membuktikan diri, melainkan untuk memperbaiki — baik diri sendiri maupun orang lain. Menurutnya, banyak konflik dan kesalahpahaman terjadi karena orang berbicara untuk mengalahkan, bukan untuk memahami. “Berkomunikasilah untuk memperbaiki, bukan untuk membenarkan diri sendiri,” pesannya. Pak Alfian juga mengutip hadits Rasulullah SAW, Rasullah bersabda:

“Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Poin terakhir yang disampaikan adalah bahwa setiap ucapan seharusnya menjadi sarana untuk menuntun kita kepada Allah SWT. “Lisan adalah anugerah besar. Jika digunakan dengan baik, ia menjadi jalan menuju surga. Tapi jika disalahgunakan, bisa menjerumuskan kita,” tegas Pak Alfian dengan nada reflektif.

Dalam sesi penutup, Pak Alfian mengajak seluruh jamaah untuk menjadikan komunikasi sehari-hari sebagai sarana introspeksi diri dan peningkatan kualitas iman. Ia mengingatkan bahwa dunia modern saat ini sering kali mendorong orang untuk berbicara cepat, keras, dan penuh pembelaan diri, padahal Islam justru mengajarkan ketenangan, kesabaran, dan kelembutan dalam berkomunikasi.

“Kalau komunikasi kita dimulai dari hati, diiringi dengan keikhlasan dan kesadaran iman, maka setiap kata akan menjadi doa, setiap nasihat menjadi cahaya, dan setiap percakapan akan bernilai ibadah,” tutupnya.

Kuliah Dhuhur kali ini meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta. Banyak jamaah yang tampak terdiam merenung setelah sesi berakhir, seolah tengah mengoreksi kembali bagaimana mereka berkomunikasi selama ini. Kegiatan ini kembali menegaskan bahwa di balik kata-kata yang sederhana, tersimpan tanggung jawab besar dan peluang untuk beribadah kepada Allah SWT.